Ini kisah tentang bapak, anak lelaki dan keledainya yang
merepotkan.
Bagaimana tidak, tiap hari mereka harus menyediakan rumput,
dan, yang paling tidak enak, harus selalu membersihkan kotoran keledai di
kandang.
“Mending piara ayam, bisa bertelur!” kata si anak pada suatu
hari. “Piara keledai hanya bikin repot!”
Si Bapak menghela nafas. Maklum akan kekesalan anaknya.
“Mending kalau keledai itu bisa membersihkan kotorannya
sendiri!” si anak meneruskan kesalnya.
“Tak ada keledai sepandai itu, nak!” kata bapak coba
menenangkan hati anaknya. “dia tidak sekolah, kan?”
“Laiyalah! Mana ada sekolah keledai?” sambut anaknya, makin
kesal menanggapi gurauan si ayah. “Kenapa tidak kita jual saja keledai ini,
pak?”
Kita jual? Si Bapak merenung.
“Nak, keledai itu kenangan dari kakekmu! Kau cucu lelaki
kebanggan yang lahir di hari yang sama dengan keledai itu. Maka kakekmu
menamaimu Dongki, yang artinya keledai mungil! Nama bapak sendiri kan Dongkus,
alias keledai besar!”
Si Bapak senyum bernostalgia. Sebaliknya si anak, Dongki,
makin kesal dengan keledai yang ternyata lahir di hari yang sama. Bukan suatu
kehormatan besar lahir di hari yang sama dengan keledai! Bernama keledai mungil
pula! Huh, apa kita bermarga Keledai?!
Dongki minta si bapak untuk menyingkirkan binatang itu.
Dengan perasaan apa boleh buat, pak Dongkus setuju.
Matahari pagi mulai menghangati bumi, ketika tiga mahluk
Tuhan beda posisi ini jalan beriringan menuju pasar di kota.
“Hei, kalian bertiga mau kemana?” seorang tetangga menyapa
mereka. Pak Dongkus menjawab singkat bahwa mereka akan ke pasar di kota.
“Kalian punya keledai kenapa tidak dinaiki? Dimana otak
kalian?” kata tetangga usil itu.
Panas kuping pak Dongkus mendengar teguran tetangga itu.
Setelah berunding dengan Dongki, ia naik ke punggung keledai, sementara si anak
berjalan mengiringi. Namun belum 50 meter berjalan, gangguan kedua muncul.
“Bapak macam apa itu? Dirinya enak-enak naik keledai,
anaknya disuruh jalan kaki! Sayang anak, dong!”
Suara tetangga kedua ini makin memerahkan telinga.
Cepat-cepat pak Dongkus merosot dari punggung keledai. Ia tak mau dituduh tidak
sayang anak.
Kini giliran ‘si Keledai Mungil’ Dongki naik dipunggung
keledai asli. Sementara ‘si Keledai Besar’ Dongkus jalan kaki mengiringi.
“Sekarang tak akan ada yang mencela lagi,” katanya dalam hati. “Bukankah aku
seorang ayah yang sayang anak?”
Lagi-lagi pak Dongkus salah duga.
“Wah! Ini anak tidak hormat pada orangtua!” Seorang tukang
rumput yang berpapasan jalan mencela. “Anak enak-enak naik keledai, ayahnya
yang tua itu dibiarkan jalan kaki! Kamu juga! Kenapa orangtua tidak bisa didik
anak?”
Anak dan bapak sama-sama kena semprot!
Anak-bapak duduk di bawah pohon, tak jauh dari hutan. Stres.
Sama-sama stress. Apa pun yang mereka lakukan salah semua. Keduanya sepakat
bahwa keledai warisan yang berhari ulangtahun sama dengan Dongki itu
benar-benar merepotkan adanya. Pasar kota masih jauh, bagaimana cara menuju
kesana yang aman dari cela orang?
Sementara itu, diam-diam keledai berjalan sendiri menuju
hutan, tempat yang selama ini ia dambakan.
Tiba-tiba Dongki bersorak lihat jauh disana keledai
menghilang ke hutan.
“Ayah, kita bebas sekarang!” teriaknya sambil menunjuk
hutan. Si ayah setuju. “Ya, kita bebas dari tuan keledai yang merepotkan itu!”
Mereka pun pulang dengan riang, tidak takut lagi ada yang
mencela bagaimana mereka bersikap terhadap keledainya!
Yah begitulah kisah bapak, anak dan seekor keledai kecil
tadi, jika saya rangkum intinya setiap apa yang kita lakukan akan menimbulkan
berbagai komentar dari orang lain.
contohnya kisah di atas,
1.
Keledai dinaiki 2 orang, dibilang
kejam
2.
Keledai dinaiki anak,
dibilang anak durhaka
3.
Keledai dinaiki bapak,
dibilang bapak tidak sayang anak
4.
Keledai tidak dinaiki,orang
bilang bodoh
Jadi bingung khan harus berbuat apa?
Hikmah:
1.
Kita tak akan pernah bisa
memuaskan semua orang. Maka, jadilah diri sendiri dan lakukan apa yang kita
anggap benar.
2.
Dalam kehidupan kita, sudah
terjadi atau suatu saat nanti, bisa jadi kita akan menemui kejadian2 seperti
diatas. Membuat keputusan untuk hidup kita kadang tidaklah mudah. Apalagi jika
kita hidup di lingkungan orang banyak. Memilih sekolah, memilih pekerjaan,
memilih kawan, memilih pasangan hidup, memutuskan apapun untuk hidup kita
kadang malah jadi ribet hanya karena omongan orang lain.
3.
Pro dan kontra itu ada
seperti adanya siang malam. Perbedaan pendapat itu memang seharusnya menjadi
hal biasa. Jaman sekarang sepertinya kita sudah tdk bisa lagi mendengarkan,
menuruti dan menyenangkan semua pihak. Asalkan kita punya prinsip dan apa yang
kita putuskan itu benar, sebaiknya dijalankan saja..
4.
Dan sepertinya.. Kalo
diliat-liat lagi ni, ada banyak manusia seperti yang berkomentar tadi. Semoga
kita tidak masuk kedalam golongan orang-orang itu. Orang-orang yang hanya suka menonton.
Orang-orang yang hanya bisa berkomentar dan berkomentar. Tapi jika diminta
pendapat balik, mereka bahkan tdk punya jawaban. Hmm……
5.
Jadi, fokus saja dengan perjalanan menuju tujuan kita ya sobat…..
Jangan terlalu dianggap omongan atau komentar dari orang2 tadi karena justru
akan memperlambat perjalanan kita.
sumber:
dhammavijja.web.id
manusiabelajar.wordpress.com
Best Casinos in Washington, D.C. - Mapyro
BalasHapusDiscover a casino in 경상북도 출장샵 Washington, D.C.. Click the 남양주 출장샵 map 경산 출장마사지 for 파주 출장안마 casinos near you. Find 경주 출장마사지 your nearest casino and sportsbook.